Wartawan Sunday Times, Marie Colvin Terbunuh di Siria |
Kantor-kantor berita mengatakan bahwa ia dan juru fotonya, Remi Ochlik, seorang koresponden veteran perang yang lainnya, terbunuh oleh sebuah roket saat mereka berusaha melarikan diri.
Tiga wartawan asing lainnya juga dilaporkan terluka, temasuk Paul Conro, seorang juru foto asal Inggris yang bekerja bersama Colvin. Seorang reporter asal Perancis untuk Le Figaro, Edith Bouvier, juga terluka. Ketiga, seorang wartawan perempuan asal Amerika belum diketahui namanya, dikatakan “dalam kondisi yang sangat serius.”
Mereka semua tampaknya sedang dalam pusat media pergantian sementara yang dilakukan oleh aktivis anti rezim di wilayah Baba Amr yang langsung terkena sebuah granat.
Colvin yang mengenakan tanda khas penutup mata berwarna hitam setelah kehilangan sebuah matanya karena terkena pecahan peluru meriam saat bertugas di Sri Lanka pada tahun 2001, dianggap sebagai reporter perang yang terkenal bekerja di garis depan.
Dalam siaran BBC kemarin, ia menggambarkan pertumpahan darah sebagai “betul-betul memuakkan.” Katanya:
"I watched a little baby die today. Absolutely horrific. There is just shells, rockets and tank fire pouring into civilian areas of this city and it is just unrelenting."
Dalam sebuah laporan yang dimuat di Sunday Times selama sepekan, Colvin menuliskan tentang penduduk Homs yang sedang “menunggu pembunuhan masal” - "waiting for a massacre"."Saya menyaksikan seorang bayi kecil meninggal hari ini. Betul-betul mengerikan. Hanya ada granat, roket dan tembakan tank yang menghujani wilayah-wilayah sipil di kota ini dan tak henti-hentinya.”
Ia menulis: “Skala tragedi manusia di kota ini teramat besar. Penduduk tinggal dalam teror. Hampir setiap keluarga terlihat menghadapi kematian atau luka-luka dari keluarga yang mereka cintai...”
“Di bibir setiap orang terdapat pertanyaan: ‘Mengapa kita ditinggalkan oleh dunia?’”
Ia berada di wilayah pro oposisi Homs yang berada di bawah serangan bom berkelanjutan dari pasukan pemerintah sejak 3 Februari, yang mengakibatkan kematian beberapa ratus orang.
Editor Sunday Times, Joh Witherow, mengeluarkan pernyataan yang mengatakan Colvin sebagai “seorang sosok luar biasa di dalam kehidupan Sunday Times” yang “terdorong oleh sebuah hasrat untuk meliput perang-perang dengan keyakinan bahwa itu penting baginya.”
"Ia sangat yakin bahwa liputan bisa membatasi rezim brutal yang berlebihan dan membuat komunitas internasional memberi perhatian...”
"Selama karir panjangnya ia mengambil resiko untuk memenuhi tujuan ini, termasuk terluka parah di Sri Lanka. Tidak ada sesuatu pun yang tampaknya bisa menghalanginya.
"Namun ia lebih dari sekedar seorang wartawan perang. Ia adalah seorang perempuan dengan keceriaan yang dahsyat, penuh humor dan keugal-ugalan serta dikelilingi oleh teman-teman yang begitu banyak, yang semuanya takut akan konsekuensi dari keberaniannya.”
"She believed profoundly that reporting could curtail the excesses of brutal regimes and make the international community take notice...
"Throughout her long career she took risks to fulfil this goal, including being badly injured in Sri Lanka. Nothing seemed to deter her.
"But she was much more than a war reporter. She was a woman with a tremendous joie de vivre, full of humour and mischief and surrounded by a large circle of friends, all of whom feared the consequences of her bravery."
Rupert Murdoch juga memberikan penghargaan kepada Colvin, yang menggambarkannya sebagai “salah satu dari koresponden yang paling luar biasa pada generasinya.”
Ia mengatakan bahwa seringkali ia mempertaruhkan hidupnya di dalam bahaya “karena ia terdorong oleh sebuah kebulatan tekad bahwa kelakuan buruk tirani dan penderitaan para korban tidak seharusnya tidak diberitakan.”
Pada tahun 2010, Colvin berbicara tentang bahaya melaporkan wilayah-wilayah perang pada upacara Fleet Street untuk menghormati wartawan yang gugur. Ia mengatakan:
"Kawah. Rumah yang terbakar. Potongan-potongan tubuh. Perempuan yang meratapi anak-anak dan suami. Laki-laki yang meratapi istri, ibu dan anak-anak.
Misi kita adalah untuk melaporkan ketakutan perang ini dengan akurasi dan tanpa prasangka.
Kita harus selalu bertanya pada diri kita sendiri apakah tingkat resiko setimpal dengan cerita yang ada. Apa itu keberanian, dan apa itu pura-pura berani?
Para wartawan yang mengungkap pertarungan memikul tanggungjawab besar dan menghadapi pilihan yang sulit. Terkadang mereka membayar dengan harga penghabisan.”
Colvin dua kali memenangkan penghargaan pers di Inggris sebagai koresponden asing yang terbaik. Diantara penghargaannya yang lain, satu untuk keberanian dalam jurnalisme oleh Lembaga Media Perempuan Internasional dan penghargaan wartawan terbaik dari Asosiasi Pers Asing.
Ia menulis dan menghasilkan dokumenter Arafat di BBC: Di Balik Mitos dan menyuguhkan sebuah dokumenter tentang Martha Gellhorn, koresponden perang yang ternama karena pemberitaannya pada perang sipil Spanyol.
Ochlik, 28, telah meliput konflik selama delapan tahun, pertama di Haiti, dan baru-baru ini revolusi di Tunisia, Mesir dan Libia. Ia memenangkan penghargaan foto pers dunia pada karyanya di Libia.
Reporter televisi asal Perancis Gilles Jacquier terbunuh di Homs bulan lalu saat ledakan granat di tengah kelompok wartawan yang meliput protes di kota pada sebuah kunjungan yang dilakukan oleh para penguasa Siria.
Ini video laporan terakhir Marie Colvin di Homs Siria kepada Chanel4News
Sumber: Reuters/AFP/AP/Sunday Times via Guardian
0 komentar :
Post a Comment