Wednesday, March 7, 2012

Kurikulum Berbasis Kompetensi : Arsip Lama

Kurikulum Berbasis Kompetensi : Arsip Lama

" Kurikulum Lebih Baik Berkaitan dengan Kehidupan Sehari-hari " wawancara Tempo dengan H.Siskandar MA, sewaktu masih menjadi Kepala Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, ketika gagasan Kurikulum berbasis Kompetensi masih baru, satu dekade yang lampau.

Depdiknas menggagas kurikulum berbasis kompetensi bagi siswa SD. Apa yang diharapkan dari penerapan kurikulum baru ini?


Kita berharap ada perubahan cara belajar siswa menjadi lebih yang bervariasi. Cara ini memungkinkan siswa memahami pelajaran secara komprehensif. Dia bisa mencoba prinsip-prinsip dari pelajaran tertentu dalam kehidupannya sebagai siswa maupun di tempat dia bermain, bergaul dengan masyarakat. Kita ingin sebenarnya mengaitkan mata pelajaran dalam kurikulum itu terkait dengan kehidupan siswa sehari-hari.


Apa yang dimaksud dengan kurikulum berbasis kompetensi itu?

Kurikulum berbasis kompetensi itu dimunculkan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Kita ingin di dalam kurikulum ada komponen yang ditetapkan oleh pusat, dan ada komponen yang ditetapkan oleh daerah.

Yang ditetapkan oleh pusat adalah kompetensi tamatan, materi atau mata pelajaran pokok yang dianggap esensial, penilaian serta kalender pendidikan. Materi-materi pokok itu perlu disusun supaya jelas penggunaanya oleh guru di dalam kelas, materinya apa, berapa jam belajarnya, metodenya apa, cara menilainya bagaimana.

Itu semua kita sebut silabus. Silabus ini kita harapkan disusun oleh daerah, apakah oleh kabupaten atau sejumlah sekolah bergabung dan guru-gurunya menyusun satu silabus. Konsekwensinya bakal terjadi disparitas mutu sekolah-sekolah di daerah-daerah.

Apakah ada parameter tertentu supaya pengkayaan silabus tidak menimbulkan gap yang terlalu dalam?

Semua sekolah nantinya mengacu pada kompetensi. Tapi kompetensi itu baru ada wujudnya dalam aktivitas kalau ada materi untuk berlatih kompetensi.

Dari segi materi, mungkin kompetensi mata pelajaran tertentu membutuhkan lima materi latihan. Tentu ada sekolah ingin melaksanakan kelima materi itu dengan alasan ingin siswanya mendapat kategori baik. Tapi di daerah tertentu tidak mungkin menggunakan lima materi itu, maka mereka bisa jalankan dua atau tiga materi saja. Artinya, semua ingin mencapai persyaratan maksimal itu tapi aktivitas untuk mencapai kompetensi ini tingkatannya beragam.

Kemampuan dalam hal yang sangat operasional memang mungkin beragam. Misalnya, berkomunikasi sebagai kompetensi di SD melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tamatan SD harus mampu berkomunikasi, lewat tulisan atau lisan. Untuk tertulis bisa mengarang setengah halaman, satu halaman, lima halaman, 20 halaman.

Sudah barang tentu sekolah bagus pasti ingin yang tinggi tingkatannya misalnya 20 halaman. Kalau Pusat mematok harus 20 halaman misalnya, nanti banyak sekolah yang muridnya tidak bisa meraihnya.

Disini perlu fleksibilitas. Semua sekolah sama-sama ingin meraih agar siswanya berhasil berkomunikasi dengan baik. Tapi sekolah harus menilai kemampuan siswanya. Kita akui ada disparitas. Tetapi kita ingin menyadarkan pelaksana di daerah bahwa didalam disparitas itu ada range yang mereka bisa raih untuk meningkatkan mutu siswanya. Kalau yang lalu, semua sekolah harus mencapai range yang telah ditetapkan. Akhirnya selama ini terjadi kepura-puraan Sekarang kita ingin supaya objektif.

Apakah sudah dilakukan pengkajian terlebih dahulu terhadap kekuatan dan kelemahan kurikulum sebelumnya, sehingga kemudian segera akan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi?

Sejak ada kurikulum baru diimplementasikan, maka sejak itu ada pengamatan. Juga ada informasi dari masyarakat tentang kekuatan dan kelemahan dari kurikulum. Misalnya pada kurikulum 1994 begitu diselenggarakan muncul komentar dari masyarakat bahwa terlalu padat pelajarannya.

Kepadatan itu diberi makna dengan lamanya jam belajar dalam satu minggu. Banyaknya mata pelajaran dan bahan yang dipelajari dari setiap mata pelajaran. Sebenarnya keluhan seperti itu juga muncul pada kurikulum sebelumnya.

Keluhan itu muncul mungkin karena semua anak belajar dengan beban yang sama dengan mata pelajaran yang sama. Padahal potensi, motivasi belajar dan kondisi lingkungan anak-anak kita beragam. Sudah barang tentu siswa tidak bisa memilih kecuali mengikuti saja.

Sampai pada kurikulum sekarang ini berlaku ketentuan satu kurikulum untuk semua siswa dari Sabang sampai Merauke. Apakah anak itu bermotivasi belajar tinggi, sedang, rendah atau anak yang dukungan dari keluarganya kurang, tidak ada meja, tidak ada lampu belajar atau ada, semuanya menggunakan kurikulum itu.

Maksud Anda satu kurikulum tidak boleh diberlakukan secara sama pada setiap siswa?

Kita memang perlu kurikulum yang minimun. Minimum maksudnya kurikulum itu bisa dicapai oleh siswa di seluruh Indonesia. Konsep minimun yang sudah diterapkan dalam kurikulum lalu. Tapi manakala kita lihat dari hasil belajar mengajar selama ini, lepas dari pro kontra tentang Ebtanas, pencapaian hasil belajar siswa terus rendah. Ini berarti ada sesuatu yang perlu ditanggulangi. Materinya kita asumsikan minimun dan ternyata pencapaian keberhasilan belajar juga rendah.

Lalu, menurut Anda hambatan itu ada di variable mana?


Kita harus melihat secara utuh, apakah kurikulumnya, gurunya, buku belajarnya. Apakah totalitas proses belajar di kelas, kualitas interaksi guru dengan murid. Kalau kita ingin meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan, kita melihat kurikulum hanya salah satu.

Dari segi kurikulum misalnya, telah disempurnakan dari kurikulum tahun 1975 hingga 1994. Tapi hasil belajar siswa rendah terus. Berarti bukan hanya dari kurikulum hambatan itu berasal.

Infoanda via maria hasugian Koran Tempo Sabtu, 16 February 2002

Judul: Kurikulum Berbasis Kompetensi : Arsip Lama ; Ditulis oleh bolosrewu ; Rating Blog: 4.5 dari 5

0 komentar :

Post a Comment